Menikmati Cita Rasa Kuliner Khas Indonesia Di Hanoi, Vietnam

, ,

Wisata Kuliner Indonesia – Bagi para pecinta kuliner dunia, telah mengakui bahwa masakan Indonesia memiliki cita rasa yang tinggi dengan ciri kuat rasanya yang strong dikarenakan berani akan bumbu.

Buat kamu yang sedang berada di Vietnam, tepatnya di kota Hanoi, dan sedang merasakan rindu dengan makanan khas Indonesia, Restoran Halal Batavia merupakan tujuan utama untuk membayar rasa rindu akan masakan khas Indonesia, Restoran Halal Batavia merupakan satu-satunya Restoran Khas Indonesia yang berlokasi di kota Hanoi, Vietnam.

Liputan6.com

Restoran ini berlokasi di kawasan elit Vietnam, Ba Dihn atau sekita 300 meter dari Museum Ho Chi Minh, restoran ini akan sangat ramai dari jam 9 pagi sampai 10 malam waktu setempat.

“Lidah orang di sini (Vietnam) beda sekali dengan Indonesia. Mereka tidak suka pedas tapi cenderung suka asam, asin dan selalu pakai minyak ikan,” kata Chef Yudi saat disambangi di dapur restoran tersebut.

Untuk Yudi yang sudah bekerja di restoran ini kurang lebih tiga tahun, menjadi tantangan tersendiri apalagi warga lokal tergolong militan terhadap masakan negaranya sendiri.

Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan spesial tata boga asal Jakarta ini juga wajib pintar dalam meracik bumbu sehingga masakannya dapat mendekati selera Hanoi.

Dia menyadari ini sangat berarti sebab jadi penentu keberhasilan dalam melaksanakan bisnis rumah makan. Awal mulanya agak susah, apalagi tidak terdapat satu juga masyarakat Hanoi yang singgah ke restorannya. Wisatawan cuma didominasi masyarakat asing yang ialah pemburu masakan halal, semacam asal Malaysia serta beberapa negeri muslim yang lain.

Tetapi, bersamaan waktu, wisatawan terus menjadi bermacam- macam sampai mereka yang berasal dari Jepang serta Korea. Lebih membanggakan lagi, saat ini restoran ini mulai banyak didatangi masyarakat lokal.

Buat menggaet atensi masyarakat lokal, Yudi wajib meracik sebagian bumbu yang levelnya wajib diturunkan sedikit dari cita rasa asli Indonesia. Terkadang dia wajib membuat sendiri kecap manis sebab kemauan Hanoi memanglah berbeda.

Akurat.co

Demi melindungi cita rasa Indonesia, beberapa bumbu dihadirkan langsung dari Indonesia semacam kapulaga, jinten serta kemiri. Bukan sebab harga yang lebih murah, terkadang susah mendapatkannya di Vietnam. Bila juga terdapat biayanya terbilang mahal semacam kapulaga.

Dalam satu hari, bersama 4 orang asistennya, Chef Yudi sanggup sediakan 200 menu santapan, tercantum pula sediakan sebagian menu spesial asal negeri Jepang, Korea serta Prancis.

“Yang paling disukai di sini itu nasi goreng, mie goreng, rendang, sop iga, dan gado gado. Untuk rendang, jangan dibilang bakal sama dengan rasanya di Indonesia karena sudah saya modifikasi sedikit,” kata pria asal Betawi-Bugis yang juga pernah bekerja di salah satu restoran India di Kota Brabat.

Owner Restoran Batavia, Nurlaela Hera berkata daya tarik utama dari restorannya itu terletak pada label halal itu. Sampai saat ini masih susah ditemukan restoran halal di Hanoi sebab buat mendapatkannya wajib diverifikasi oleh otoritas muslim setempat. Demi memperoleh label halal itu, Nurlaela wajib menentukan bahan- bahan masakan sampai produk yang dijual tidak memiliki bahan- bahan tidak halal semacam mempunyai kandungan daging babi serta minuman beralkohol.

“Di sini minum alkohol sudah menjadi gaya hidup, tapi kami tegaskan ke pengunjung tidak akan menjualnya. Bahkan membawa dari luar pun tidak boleh,” kata dia.

Nurlaela mulai merintis bisnis restoran ini pada 2017 bersama suaminya Azhar Rizal yang bekerja di Kedutaan Besar RI( KBRI).

Awal mulanya dia mengawali bisnis kuliner ini berbentuk katering masakan halal buat semata- mata penuhi permintaan golongan internal KBRI.

Tetapi, lama kelamaan dia mengalami kalau pesanan terus menjadi meningkat banyak paling utama dari luar KBRI. Terkadang terdapat pula masyarakat Hanoi yang memohon dimasakkan nasi minyak.

Dia juga menangkap ini selaku kesempatan bisnis yang sayang bila disia-siakan, sambil mendampingi suami yang jadi diplomat.

“Saat awal-awal sekali, kami bahkan potong sendiri ayam. Tapi kini sudah tidak lagi, sudah ada yang menyediakan (pihak ketiga), termasuk untuk tempe dan tahu,” kata dia. Ibu tiga anak ini tak menyangkal bahwa tak mudah untuk menjalankan bisnis restoran halal masakan Indonesia ini.

Diperlukan kegigihan buat senantiasa bertahan sebab pangsa pasar yang dibidik ialah 60 persen masyarakat Vietnam serta golongan ekspatriat.

Dia tidak mungkin membidik WNI sebab masyarakat Indonesia yang terletak di kawasan tersebut tidak melebihi 200 jiwa dari total 600 orang di Vietnam. Apalagi spesial di kawasan utara, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Vietnam cuma tercatat 8 orang.

Di sisi lain, masyarakat Vietnam ialah komunitas kebanyakan non muslim yang diketahui sangat militan dengan masakan bangsanya sendiri.

Jelas ini jadi tantangan luar biasa untuk pendamping suami istri asal Kalimantan Barat serta Jawa Tengah ini. Tidak hanya pastinya modal usaha yang relatif besar, dia pula wajib mendatangkan tenaga kerja dari Indonesia demi mengangkut cita rasa masakan. Berawal di West Lake

Semula dia membuka restoran di depan danau terbanyak di Hanoi, Danau West Lake.

Di lokasi elit itu, Nurlaela wajib merogoh kocek lumayan dalam sebab sewa gedung terhitung mahal. Tetapi dia diuntungkan sebab penduduk dekat sebagian besar golongan ekspatriat sehingga telah terbiasa icip- icip masakan dari bermacam- macam negara.

Sepanjang 2 tahun berbisnis di posisi tersebut, dapat dikatakan Nurlaela bisa meraup banyak keuntungan. Apalagi dia rela berinvestasi dengan membangun restoran 3 lantai.

Tetapi, apa hendak dikata, secara seketika pemerintah setempat melaksanakan pelebaran jalur sehingga gedung yang telah kadung direnovasinya itu terpaksa digusur. Tidak terdapat opsi lain tidak hanya mencari posisi baru.

Kawasan Ba Dihn yang bersebelahan dengan Museum Ho Chi Mihn kesimpulannya dipilihnya. Walaupun wajib merintis lagi dari dini tetapi paling tidak dia merasa beruntung sebab dapat membuka restoran di kawasan wisata.

“Bisa dikatakan kami harus merintis dari nol lagi, tapi cukup diuntungkan karena terkadang pengunjung museum mengantre untuk masuk hingga ke depan restoran kami,” kata dia.

Para pengunjung memang sebagian besar adalah turis, yang sudah mengenal dengan masakan Indonesia seperti nasi goreng, mie goreng, rendang, soto, dan sate ayam, walaupun bisnis belum kembali pulih, seperti saat membuka restoran di lokasi pertama dan ada juga yang kena dampak pandemi, akan tetapi bagi Nurlaela ia mensyukuri kini rumah makannya menjadi salah satu tujuan turis untuk bersantap ketika sedang mengunjungi Museum Ho Chi Mihn.